Di tengah tantangan darurat sampah perkotaan dan kebutuhan mendesak akan energi terbarukan, muncul sebuah solusi brilian yang mengubah masalah menjadi peluang: Inovasi Teknologi Pengolahan Sampah menjadi sumber energi baru. Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil sampah terbesar di dunia, semakin giat mengintip masa depan yang lebih hijau melalui teknologi Waste-to-Energy (WtE). Pemanfaatan teknologi ini menawarkan keuntungan ganda, yakni mengurangi volume sampah yang menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Transformasi Sampah Melalui Pendekatan Termal
Salah satu bentuk paling umum dari Inovasi Teknologi Pengolahan Sampah menjadi energi adalah melalui proses termal, yang mencakup Insinerasi, Pirolisis, dan Gasifikasi.
1. Insinerasi (Pembakaran Massa) Teknologi ini melibatkan pembakaran sampah padat kota (Municipal Solid Waste/MSW) pada suhu ultra-tinggi (750°C hingga 1.100°C) di dalam boiler. Panas yang dihasilkan kemudian digunakan untuk mengubah air menjadi uap (steam), yang selanjutnya memutar turbin untuk menghasilkan listrik. Salah satu contoh sukses di Indonesia adalah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo di Surabaya. Menurut data operasional terakhir, PLTSa Benowo mampu mengolah lebih dari 1.000 ton sampah per hari dan menghasilkan listrik yang disuplai ke jaringan PLN. Penggunaan insinerasi modern wajib dilengkapi dengan sistem kontrol polusi canggih untuk meminimalkan emisi dioksin dan furan, memastikan proses tetap ramah lingkungan.
2. Pirolisis dan Gasifikasi Metode ini adalah pendekatan termokimia yang lebih canggih. Pirolisis adalah proses pemanasan bahan organik dalam kondisi tanpa oksigen (anoksik) untuk menghasilkan gas, minyak pirolisis (bio-oil), dan arang. Sementara Gasifikasi adalah proses pemanasan dengan jumlah oksigen yang sangat terbatas untuk menghasilkan gas sintetis (syngas), yang kaya akan hidrogen dan karbon monoksida, yang kemudian dapat dibakar di mesin gas untuk menghasilkan listrik. Inovasi Teknologi Pengolahan Sampah ini ideal untuk mengolah sampah plastik dan biomassa, mengubahnya menjadi bahan bakar cair yang nilainya setara dengan solar atau bensin, seperti yang sedang dikembangkan dalam proyek percontohan di beberapa universitas teknologi di Bandung.
Solusi Biologis dan Peraturan Pendukung
Selain pendekatan termal, Inovasi Teknologi Pengolahan Sampah juga mencakup metode biologis, yaitu Anaerobic Digestion (Pencernaan Anaerobik). Teknologi ini mengandalkan mikroorganisme untuk mengurai limbah organik (seperti sisa makanan dan kotoran) dalam kondisi tanpa oksigen. Produk utama dari proses ini adalah biogas, yang sebagian besar terdiri dari metana, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak atau untuk menggerakkan generator listrik. Keuntungan metode ini adalah kemampuannya mengolah limbah organik dengan kandungan air tinggi, sekaligus menghasilkan kompos sebagai produk sampingan yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah.
Untuk mendukung percepatan adopsi teknologi ini, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan PSEL. Regulasi ini menunjuk beberapa kota besar, termasuk Jakarta, Bali, Medan, dan Yogyakarta, sebagai prioritas pembangunan fasilitas WtE dengan target kapasitas pengolahan hingga 1.000 ton sampah per hari di setiap lokasi.
Sebagai penutup, transisi menuju sumber energi terbarukan melalui pengelolaan limbah padat adalah langkah strategis. Pada periode pertengahan bulan November 2025, ditargetkan Pejabat Tinggi Negara akan meresmikan dimulainya konstruksi fasilitas WtE di kawasan Bogor Raya dan Tangerang Raya, yang menandakan komitmen serius negara dalam mengatasi masalah sampah dan energi secara terpadu. Inovasi Teknologi Pengolahan Sampah adalah kunci masa depan keberlanjutan.
